Powered By Blogger

Selasa, 15 Maret 2011

Ikan Patin

Ikan Patin (pangasius hipothalmus)
Ikan patin atau dalam bahasa latinnya disebut pangasius hipothalmus merupakan ikan konsumsi budi daya ikan air tawar unggulan. Keunggulan ikan patin, dagingnya gurih, mengandung banyak lemak, dan tidak banyak duri. Harganya yang stabil dan cukup tinggi membuat usaha budidaya ikan patin ini menjanjikan keuntungan.
Saanin (1984) mengklasifikasi ikan patin Ikan dari famili Pangasidae ini secara sistematik sebagai berikut :
Filum       : Chordata
Klas         : Pisces
Ordo        : Siluriformes
Famili       : Pangasidae
Genus      : Pangasius
Spesies     : Pangasius djambal atau P. pangasius
Ikan patin adalah ikan air tawar yang hidup di muara-muara sungai serta danau. Ikan patin dikenal sebagai hewan nocturnal, yakni hewan yang aktif pada malam hari dan sebagai hewan dasar, ini dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke bawah. Ikan ini juga suka bersembunyi di liang-liang di tepi sungai. Ikan patin adalah ikan omnivore dan cenderung menjadi karnivora. Di alam, ikan patin memakan ikan-ikan kecil, cacing, detritus, serangga, biji-bijian, potongan daun tumbuh-tumbuhan, rumput-rumputan, udang-udang kecil dan moluska.
Di Indonesia ikan patin terdapat bermacam-macam spesies diantaranya adalah Pangasius pangasius/P. djambal, P. humeralis , P. lithostoma, P. macronema, P. micronemus, P. nasutus, P. niewenhuisii dan P. polyuranodon. Jenis-jenis ini merupakan ikan yang berada di perairan umum Indonesia. Sedangkan jenis P. sutchi dan P. hypophtalmus yang dikenal sebagai jambal siam atau lele Bangkok merupakan ikan introduksi dari Thailand. Jenis Pangasius djambal atau P. pangasius merupakan jenis ikan patin local yang paling banyak dipelihara di Indonesia.
Di habitat aslinya, ikan patin memijah pada musim penghujan, sehingga benihnya banyak ditemukan pada bulan Maret - Mei. Ikan patin matang kelamin pada usia 2-3 tahun dengan berat diatas 1,5 kg. Induk patin berukuran 5-6 kg dapat menghasilkan telur hingga 1,5 kg.

Morfologi Ikan Patin
Patin merupakan salah satu jenis ikan dari kelompok lele-lelean. Panjang patin dewasa mencapai 120 cm. Ukuran tubuh seperti ini merupakan ukuran tubuh yang tergolong besar bagi ikan jenis lele-lelean. Bentuk tubuhnya memanjang dengan warna dominan putih berkilauan seperti perak dan dibagian pungungnya berwarna kebiruan. Kilau warna keperkan tubuhnya sangat cemerlang ketika masih kecil, sehingga banyak orang yang memeliharanya di akuairum sebagai ikan hias. Warna keperakan ini akan semakin memudar setelah patin semakin besar.

Sama seperti ikan lele-lelean lainnya, patin tidak memiliki sisik alias bertubuh licin. Bentuk kepalanya relatif kecil. Mulutnya terletak di ujung kepala sebelah bawah. Di sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis yang berfungsi sebagai alat pencari pakan dan alat peraba saat berenang. Di bagian punggungnya terdapat sirip dengan sebuah jari-jari keras yang dapat berubah menjadi patil. jari-jari lunaknya berjumlah 6-7 buah.
bentuk sirip ekornya simetris bercagak. Di sirip dada terdapat 12-13 jari – jari lunak dan satu buah jari-jari keras yang berfungsi sebagai patil. Sirip duburnya panjang, terdiri dari 30-33 jari-jari lunak. Sementara itu, di sirip perut terdapat 6 jari-jari lunak.
Sirip punggung mempunyai 1 jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang besar dan bergerigi di belakangnya sedangkan jari-jari lunak pada sirip ini 6-7 buah. Pada permukaan punggung terdapat sirip lemak yang ukurannya sangat kecil. Sirip dubur agak panjang dan mempunyai 30-33 jari-jari lunak. Sirip perut terdapat 6 jari-jari lunak sedangkan sirip dada terdapat 1 jari-jari keras ang berubah menjadi patil dan 12-13 jari-jari lunak. Sirip ekor bercagak dan bentuknya simetris.
Fase Ikan Patin
Ikan Patin  melewati enam fase kehidupan, yaitu telur, larva, benih, konsumsi, calon induk, dan induk. Patin Siam didatangkan ke Indonesia pada tahun 1972. Kehadiran ikan ini disambut baik oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat yang tinggal di Sumatra dan Kalimantan. Penelitian mengenai perkembangbiakan Ikan Patin telah dimulai sejak tahun 1976 dan pada tanggal 16 Oktober 1977 mulai dilakukan pembiakan dengan teknik hipofisasi dengan donor kelenjar hipofisa dari ikan sejenis (LING et al., 1966 ; HARDJAMULIA, et al., 1975).
Kematangan gonad induk jantan dan betina berbeda. Kematangan induk jantan terjadi lebih dini dari pada induk betina. Induk jantan mencapai kematangan gonadnya sekitar umur dua sampai tiga tahun, sedangkan induk betina pada umur tiga sampai empat tahun (BUCHANAN, 1983). Induk betina yang matang gonad ditandai dengan membesarnya bagian lateral atau perut dekat urogenital. Pada umumnya induk betina tersebut mempunyai berat tubuh bervariasi dari 2.669 gram sampai 6.100 gram dengan panjang tubuh lebih kurang 59 cm. Induk jantan yang matang ditandai dengan keluarnya sperma berwarna putih susu jika perutnya dipijit (SAR, 1985).
Musim pemijahan ikan patin berbeda-beda di setiap daerah, dimana daerah yang memiliki curah hujan tinggi dapat memijah selama enam bulan penuh, yaitu Nopember sampai April. Sedangkan daerah yang bercurah hujan rendah ikan patin memijah selama tiga bulan, yaitu Januari sampai Maret(NUGRAHA, 2007). Ikan patin sulit memijah secara alami dan mempunyai sifat musiman. Ikan ini tidak sanggup melakukan ovolasi karena perkembangan gonad pada fase istirahat. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan yang berbeda dengan sungai sebagai habitat alaminya (SUSANTO, 1996).
Setelah induk jantan dan betina mengalami kematangan gonad, maka induk-induk tersebut akan berimigrasi mengikuti alioran sungai untuk melakukan perkawinan di hulu-hulu sungai atau di sungai-sungai besar dan mencari tempat untuk bersarang yang teduh dan aman, yaitu kira-kira 20 – 30 cm di bawah permukaan air. Biasanya musim pemijahan ikan ini di alam terjadi selama musim penghujan (BARDACH, et al., 1972 ; DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN, 1977 ; LAGLER et al., 1977 ; HARDJAMULIA, et al., 1981 ; SUYANTO, 1982 ; BUCHANAN, 1983)
Pembuahan berlangsung secara ekternal, sangat cepat dan terjadi di bawah permukaan air dengan suhu 28 – 29 O C (VARIKUL dan BOONSOM, 1966). Seekor induk betina akan menghasilkan telur dengan jumlah yang bervariasi tergantung dari ukuran tubuhnya, secara alami menghasilkan telur berjumlah kurang lebih 500.000 butir dan secara pembuahan buatan berjumlah 1 – 1,5 juta juta butir (SUYANTO, 1982 ; BUCHANAN, 1983 ; SAR, 1985)
Telur berbentuk sferikal kecil dan berdiameter 1,15 – 1,25 mm. Telur muda berwarna putih sedang telur matang berwarna kuning. Telur akan menjadi adhesif setelah mengalami kontak dengan air di sekelilingnya (VARIKUL dan BOONSOM, 1966 ; LAGLER et al., 1977 ; HARDJAMULIA, et al., 1986. Inkubasi berlangsung selama 12 – 24 jam, setelah 23 jam terjadi pembuahan. Pada saat itu, telur mengalami fase-fase pembelahan dan berkembang di dalam air dengan suhu 28 – 29 O C (VARIKUL dan BOONSOM, 1966, atau 28 – 32 O C (SUMANTADINATA, 1981).
Larva Jambal Siam yang baru menetas transparan, tidak berfigmen dan alat renangnya belum sempurna, mempunyai ukuran kurang lebih tiga milimeter (LING et al., 1966 ; VARIKUL dan BOONSOM, 1966). Larva mengalami dua fase, yaitu fase prelarva dan postlarva. Fase prelarva mempunyai bentu silindris dan simetris bilateral dengan kandungan telur pada bagian antarior tubuh. Sirip dada dan sirip ekor sudah terbentu, tetapi belum sempurna. Pada fase postlarva, kantung kuning telur menghilang dan figmen tubuh mulai terbentuk, lipatan sirip dorsal (sirip punggung), sirip perut dan sirip dubur juga mulai terbentuk (LAGLER et al., 1977). Larva menyukai cahaya yang lembut (LING et al., 1966).
Larva yang baru menetas tersebut masih mengadung kuning telur, sehingga tidak memerlukan pakan dari luar (JANGKARU, 1974 ; LAGLER et al., 1977). Kuning telur tersebut hampir habis terserap pada saat larva berumur tiga hari, pada saat itu larva mulai memerlukan pakan yang berasal dari luar (VARIKUL dan BOONSOM, 1966 ; PUTAROS dan SITASIT, 1976 ; BUCHANAN, 1983). Pada fase ini derajat kelangsung hidup larva hanya lima persen. Fase ini paling kritis, karena terjadi proses pembentukan saluran pencernaan dan perubahan pakan dari pakan asal kuning telur kepada pakan dari luar. Larva tersebut tidak aktif mencari pakan, tetapi bergerak aktif dengan mulut terbuka dan jika menyentuh larva atau jenis pakan lainnya, maka mulut larva segera menutup dan pakan tersebut ditelan sedikit demi sedikit. Pada fase ini seringkali terjadi kanibalisme (JANGKARU, 1974 ; LAGLER et al., 1977).
Kanibalisme ini bisa berlangsung terus bila jumlah pakan tidak mencukupi dan larva dalam keadaan sangat lapar. Tetapi setelah larva melewati umur 15 hari biasanya tidak dijumpai lagi tingkat kematian yang tinggi (HARDJAMULIA et al., 1981 ; SAR, 1985). HARDJAMULIA et al. (1975) juga berpendapat bahwa kendala yang dihadapi dalam pemeliharaan ikan jambal siam adalah pada fase post larva yang seringkali menunjukan hampi seluruh larva mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar